Aku adalah anak
bungsu dari empat bersaudara. Namaku Anggito Wiryawan. Aku biasa dipanggil
‘Tito’. Aku dilahirkan di Sorong, 10 Februari 2001. Aku adalah siswa kelas enam
di SD Al Irsyad Kota Sorong, Papua Barat. Dua kakak perempuanku telah kuliah
dan tidak tinggal serumah dengan orangtuaku. Kakak pertama bernama Paramitha
Wiryawan. Dia kuliah di STIS Jakarta. Kakak kedua bernama Maharani Wiryawan.
Dia kuliah di AMG Jakarta. Kakak
perempuan ketiga bernama Windyani
Wiryawan. Dia biasa dipanggil ‘Windy’. Dia masih tinggal serumah dengan
orangtuaku karena masih kelas 2 SMA. Ayahku
bernama Wiryanto. Dia seorang pelaut yang bekerja di kapal udang. Dia
sering berlayar meninggalkan kami selama 2 – 3 bulan. Ibuku bernama Wantini
seorang guru di sebuah SMPN di kota Sorong. Nama belakangku dan kakakku adalah
gabungan antara nama ayah dan nama Ibu. Selain itu tinggal pula kakek
dirumahku. Dia adalah orang tua dari ayahku. Dahulu kakek juga seorang pelaut.
Dia seorang Prajurit Angkatan Laut. Sedang nenek sudah meninggal lebih dulu.
Rumah kakek telah dijual oleh anak-anaknya. Kakek tidak mempunyai rumah lagi.
Kakek meminta tinggal dirumah kami karena rumah kamilah yang paling besar.
Seperti biasa ayah
pergi berlayar dengan kapal udangnya. Suasana rumah serasa sunyi. Jika ayah
dirumah, ayah pasti orang yang sering menegurku kalau aku terlalu lama bermain.
Misalnya bermain Play Station, Online, dan nonton televisi. Jika ayah
pergi, ibu yang menegurku, tetapi tidak sekeras ayah. Suatu hari sepulang
sekolah, ibu membawa kabar yang mengejutkan. Ibu mengatakan, ”Ibu mendapat
tugas untuk penataran ke Jakarta”. Aku bertanya, ”Berapa lama bu?”. “Hanya dua
minggu.” jawab ibu. Kepalaku langsung pusing. “Apa jadinya kalau dirumah tanpa
ibu selama dua minggu?” tanyaku dalam hati. Sehari sebelumnya, Kak Windy juga
berangkat ke Bandung untuk mengikuti pekan karya ilmiah. Aku bingung
membayangkan harus menjaga kakek yang telah pikun. Ingin rasanya kularang ibu
agar tidak pergi, kataku dalam hati. Tetapi tidak bisa, karena ini adalah salah
satu tugas ibu sebagai guru. “Soal makan, kamu tidak usah khawatir,” kata ibu. “Ibu
sudah titip Bude Ning memasak untuk kamu
dan kakek”, lanjutnya. Bude Ning
adalah tetangga sebelahku yang sangat dipercaya ibuku. Bude Ning juga adalah
teman SMA ibuku. Jadi, wajar jika ibu meminta tolong pada Bude
Ning.
Tiga hari kemudian, Ibu
berangkat ditemani oleh rekan guru dari sekolah ibu. Aku tidak mengantar karena
harus sekolah. Di sekolah, aku berpikir bagaimana menjaga kakek yang
pikun.Melihat wajahku yang bingung, Fandi memanggilku. Fandi adalah sahabat
yang sangat kupercaya walau dia penganut agama Kristen Protestan. “Mengapa kamu
melamun?” tanya Fandi. “Aku ditinggal ibuku. Terpaksa aku harus menjaga kakek
yang pikun.” jawabku. “Kamu harus sabar,....” kata Fandi. Aku sedikit bingung
dengan perkataan Fandi. Sepertinya masih ada kata-kata yang akan diucapkannya. Jam
satu siang aku pulang sekolah. Setelah mengganti baju, kemudian aku makan
siang. Kulihat piring bekas kakek makan siang. Nasi putih, sayur rebung dan
ikan goreng kusantap dengan cepat karena lapar. Tiba-tiba aku mendengar suara
kakek. “Tito ambilkan piring, kakek mau makan.” kata kakek. Aku terkejut. “Bukankah
kakek sudah makan?” tanyaku. “Kakek belum makan, dari tadi kakek tidur”, jawab
kakek. Aku mengambil piring dengan pikiran bingung. “Mana ikan kuah kuningnya? Kenapa kamu habiskan, itu makanan kesukaan
kakek?” tanya kakek sambil marah. “Kek, hanya ada ikan goreng, bukan ikan kuah
kuning”, jawabku. Kakek tetap membantah. Kakek menyuruhku meminta di Bude Ning. Aku menjawab, ”Tidak mau, aku
malu. Bude kan punya tiga anak
laki-laki yang sudah besar, pasti makannya juga banyak”. Walau pun begitu kakek
tetap memaksaku. Aku mengalah. Aku teringat kata-kata Fandi, kita harus
sabar kepada orang tua.
Kemudian aku ke rumah
Bude Ning meminta ikan kuah kuning tetapi Bude Ning tidak memasaknya. Bude
menyuruhku untuk membeli ikan kuah kuning
di warung. Setelah sampai di rumah, aku menyuruh kakek untuk makan. Sungguh aku
sangat kesal ketika kakek berkata, ”Kakek tidak lapar, kakek mau menonton
televisi”. “Aaaagh”,sambil meletakkan
mangkok berisi ikan kuah kuning
kesukaan kakek. Tiba-tiba ibu mengirim SMS. Di pesan masuk tertulis, Ibu sedang
transit di Makassar. Aku menelpon dan menceritakan kejadian tadi kepada ibu.
Ibu menasihatiku agar sabar. Ibu menyuruhku shalat dzuhur karena waktu shalat
sudah hampir habis.
Hari ini libur sekolah,
karena para guru mengikuti KKG yang diadakan di sekolahku. Setelah shalat subuh
aku tidur lagi. Jam delapan pagi, kakek membangunkanku untuk pergi sekolah. “Aku
libur, Kek” jawabku lalu tidur lagi. Tetapi akhirnya, aku bangun juga karena kakek
terus menepuk-nepuk punggungku. Setelah makan pagi, aku menonton televisi. Saat
itu di Trans TV sedang ditayangkan Islam Itu Indah bersama Ustadz M. Nur
Maulana yang terkenal dengan sapaan, ”Jamaaah....... Alhamdulillah. Ustadz
sedang membahas masalah merawat orang tua. Beliau berkata,”Merawat anak lebih
mudah daripada merawat orangtua karena merawat anak semakin lama semakin
pintar”. “Sebaliknya merawat orang tua semakin lama semakin menjengkelkan.
Tetapi kalau kita sanggup dan sabar dalam merawat orang tua, maka Allah SWT
menjanjikan pahala surga”.
Nyaris saja aku
menitikkan air mata. Aku hampir tidak mau lagi merawat kakek yang pikun. Akupun
berdoa kepada Allah SWT agar kakek tetap sehat dan daya ingatnya masih baik. Aku
harus membalas budi karena kakek yang menjaga aku ketika ibu dan ayah bekerja. Aku
juga berdoa, semoga anakku dan cucuku akan merawatku dan tidak kesal jika aku
sedikit pikun dan pelupa.Kakek, maafkan kesalahanku ,doaku dengan sangat
khusyuk.
Tiba-tiba terdengar
suara, ”Braak”. Aku segera berlari ke kamar kakek. Aku melihat kakek terlentang
di lantai. Aku menangis dan berteriak meminta tolong. Aku menggoyang-goyang
tubuh kakek, tetapi kakek diam saja. Suami Bude
Ning, Pakde Anton, datang ke
rumah. Aku melihat ia menelpon seseorang. Beberapa saat setelah Pakde Anton menelpon seseorang, ada
mobil datang dan Pakde membawa kakek ke rumah sakit. Aku masih menangis ketika Bude Ning datang ke rumah. Bude
menceritakan kalau kakek harus dirawat di rumah sakit. Bude berkata, “Pakde sudah menelpon ayah, mungkin besok lusa ayah
baru tiba. Mas Bin akan menemani kamu”.
Dua hari kemudian ayah tiba di rumah. Ayah
mengajakku ke rumah sakit. Aku sedikit lega. Kakek terlihat lebih sehat. Ketika
aku masuk, kakek sedang berbicara dengan orang yang datang menjenguk kakek. Mungkin
teman lama kakek . “Ini cucu laki-laki saya, ganteng ya, dia selalu ranking
satu”, kata kakek sambil tertawa membanggakanku didepan temn kakek. Dalam hati
aku berkata, “Ternyata kakek sangat bangga dan sayang kepadaku”. Aku jadi sedih
mengingat kelakuanku pada kakek selama ini. Walau aku memperlakukan kakek
dengan tidak baik, tetapi kakek membanggakan aku di depan teman-temannya.
Siang itu, ayah dan aku pergi ke Bandara.
Kami menjemput Kak Windy yang tiba dari Bandung. Setelah membawa koper ke
rumah, kami langsung menuju ke rumah sakit. Di depan kamar kakek, kami
mendengar kakek sedang mengaji. Kami mengetuk pintu,lalu kami masuk. Kakek
tersenyum lebar ketika melihat kak Windy.
“Apakah kamu mendapat juara?” Tanya kakek. Kak Windy menggelengkan kepala
dengan lemas. Kak Windy terlihat sangat lesu. “Tidak apa-apa, kegagalan adalah
sukses yang tertunda, kamu harus lebih giat belajar. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan tepukan kakek
pada bahuku, ”Tito juga harus rajin belajar dan lebih sayang kepada orangtua, hiburan
boleh saja tetapi tidak boleh berlebihan”. Kemudian kakek mengatakan kalau
kakek ingin tidur. Kami pun pergi ke warung makan karena kak Windy belum makan. Sepulang dari warung makan, kami membawa
makanan kesukaan kakek, papeda dan ikan
kuah kuning. Aku menepuk bahu kakek dengan perlahan agar kakek bangun.
Tetapi kakek tidak kunjung bangun. Wajahnya terlihat damai saat tidur.
Ayah menyuruh seorang suster
agar melihat keadaan kakek. Bagai disambar petir, ketika suster berkata kakek
telah meninggal dunia. Aku sangat menyesal. Aku merasa akulah yang menyebabkan kakek
meninggal karena kelakuanku yang tidak baik. Aku begitu sedih dan menyesal
dengan apa yang kulakukan. Air mataku terus berlinang sambil memohon maaf
kepada kakek. “Maafkan Tito, ya Kek. Tito menyesal tidak berbuat baik kepada
kakek selama ini. Ya Allah Ampunilah salah dan dosaku. Belum sempat aku berbuat
baik kepada kakek, tetapi mengapa Engkau telah memanggilnya? Ampuni juga dosa
kakek.Terimalah amal ibadahnya. Tempatkanlah kakek di surga-Mu, Amiien, amiien
yaa Robbal Alamin” pintaku dalam doa.
Beberapa hari kemudian . . .
Di suatu sore yang cerah, kami berempat
duduk-duduk. Bunga Eforbia telihat mekar dengan indah. Aku ingat, kakek paling
senang melihat bunga ini saat mekar. Setelah aku melihat bunga Eforbia, ayah
mengajakku ke bandara. Ternyata, sekarang ibu akan pulang. Kami menjemput ibu. Kulihat
wajah ibu campur aduk antara sedih dan senang. Tanpa sepengetahuanku, kak Windy
memberitahu ibu jika kakek telah meninggal. Setelah pulang dari bandara, aku ke
ruang keluarga, kubuka album foto. Ada foto kakek sedang menggendongku. Ada juga foto kakek
bersama kakak-kakak perempuanku. Kalau diperhatikan, wajahku mirip dengan wajah
kakek. Biasanya anak mirip dengan orangtuanya,
namun aku berbeda. Aku lebih mirip dengan kakekku daripada orangtuaku. Tidak
terasa air mata telah mengalir dipipiku. Aku harus merelakan kepergian kakek. Aku sekarang mengerti apa
yang dirasakan Fandi ketika dia menasehatiku.Ternyata kakek Fandi juga telah
meninggal. Adzan magrib terdengar ditelingaku. Aku pun ke masjid dan berdoa
agar kakek dirahmati Allah SWT dan orangtuaku tidak meninggal begitu cepat. Tak
beberapa lama libur berakhir. Kehidupanku kembali seperti dulu, walau kakek
telah meninggal. Kita harus menjaga orangtua dengan sabar, karena hidup mereka
tidak lama lagi dan mereka bisa saja akan pikun. Kata-kata yang terakhir
kuucapkan untuk kakek, “Selamat tinggal, Kek.”
Ket:
papeda adalah makanan pokok di Papua,terbuat dari sagu.
NAMA PENULIS : AHMAD ALI ASHSHIDIQI
0 komentar:
Posting Komentar